Diposkan pada Tak Berkategori

(Before) 25 life crysis

 

IMG_20190214_102923

Happy Birthday to my self, it’s getting 23 yo btw, new chapter, new life

Ini sebuah catatan absurd tentang usia menjelang 25 tahun dan mungkin juga dirasakan oleh beberapa orang yang usianya seperti saya.

Oiya, beberapa tahun yang lalu, saya menyelesaikan sebuah tulisan yang saya publikasikan pada tanggal 14 februari, karena saya rasa post artikel tersebut sesuai dengan tanggalnya. Tapi untuk saat inimenurut saya artikel itu sangat weird, bullshit untuk di range usia saya. akan tetapi tulisan ini juga akan bullshit saat usia seperempat abad saya berakhir dan saya belum melewati jenjang berikutnya.

Ada yang menarik beberapa tahun belakangan ini di laman media sosial saya, yaitu teman-teman seangkatan saya sudah banyak yang memasang foto pernikahannya, ada juga yang tiba-tiba status teman saya di media sosial menjadi lebih bijaksana saat membahas pernikahan. dan banyak juga dari mereka  yang mengirim undangan pernikahannya. Akan tetapi….bukan itu yang membuat saya agak dongkol, tapi pertanyaan “kapan menikah ?” yang seringkali di lontarkan dari orang-orang terdekat kepada saya, bahkan gak jarang mereka menawarkan kepada saya untuk dikenalkan kepada sosok laki-laki yang mereka kira pantas dengan saya.

Yah, menjadi angkatan 90an saat di tahun-tahun ini sangatlah sulit, akan ada banyak beban yang di embannya. bukan hanya tentang status pernikahannya, tetapi ada banyak hal yang di tanggungnya, seperti status sosialnya, status pekerjaannya, sampai status keluarganya.

Ada yang mungkin di pekerjaannya bagus, punya gaji tinggi, tapi siapa tau dia punya beban keluarga. Ada juga yang punya keluarga yang saling mendukung tapi dunia pekerjaannya tidak sesuai dengan yang dia perkirakan.

Jauh sebelum saya memikirkan tentang pernikahan, menurut saya ada hal lain yang menurut saya harus saya perbaiki di dalam diri saya. Entah kenapa di usia-usia saya itu gampang banget merasa iri, yah, mungkin karena persaingan di usia setelah kuliah ini lebih nyata, karena nggak hanya beberapa orang saja yang bersaing dengan saya, tapi hampir semua lulusan kuliah menjadi saingan saya dan persaingan ini mulai terlihat saat saya beberapa kali mengikuti event job market dan sebagainya, disitu terlihat jelas ratusan anak manusia berjejal-jejalan penuh sesak mengantri di stand-stand perusahaan sambil berharap belasan amplop coklatnya nantinya akan mengantarkan dia menuju dunia kerja. Dan dari situ mulailah saya sering berkata :

“eh enak banget ya dia, gajinya gede”

“eh, pengen deh, kerja disana yang bla bla bla”

dan seabrek kata keluhan yang saya pendam di hati saya, oiya….terimakasih untuk akun #nantikitasambattentanghariini berkat akun itu setidaknya bisa menyuarakan kegundahan hati saya dan tentu saja saya berpikir bahwa ternyata nggak saya saja yang sambat, banyak teman sambat saya dari berbagai range umur.

Setelah masuk dunia kerja-pun, akan ada tanggungan lagi, seperti deadline kerja yang menumpuk, relasi sosial yang berbeda, tanggung jawab membiayai diri yang awalnya ditanggung semua oleh orang tua dan sekarang telah beralih sepenuhnya ke diri sendiri bahkan kadang kita yang menjadi gantian untuk menanggung beban keluarga, itu semua bakal kita alami.

Selain beban-beban tersebut, kehidupan sosial juga akan berubah, teman-teman yang dulu sangat akrab, tiba-tiba menghilang karena kesibukan barunya, dan mereka tergantikan oleh teman-teman yang baru saja kamu kenal di dunia pekerjaan itu, teman-teman yang lama akan sulit kita jumpai dan teman-teman yang baru menularkan gaya hidup yang berbeda. Alhamdulillah kalau mereka nggak ngajak hedon, ya kalau mereka mengajak hedon karena merasa sudah memiliki penghasilan sendiri, pasti membuat kita tekor.

Balik lagi di pembahasan sebelumnya, bahwa ada banyak hal yang harus saya perbaiki dalam diri saya sendiri sebelum saya harus memutuskan untuk “siap” melanjutkan ke jenjang pernikahan, yaitu salah satunya seperti ini, saya harus mendewasakan diri terlebih dahulu, karena saat menikah nanti, akan ada banyak hal yang harus diselesaikan dengan kedewasaan. Menjadi dewasa menurut saya adalah bagaimana kita bisa mencintai diri kita sendiri, lalu apa hubungannya dengan iri ? tentu saja ada.

Begini misalnya, ketika kita iri pasti rasanya nggak enak semua dalam diri kita, ya perasaan kita, ya otak kita dan bahkan semua tubuh merespon dengan buruk dan negativ. Kalau gitu sama saja kan kita menyakiti diri sendiri, kita nggak mencintai diri kita sendiri, trus kalau hal semacam itu terus terjadi pada diri kita, masihkah kita memaksakan diri untuk “siap” ke jenjang berikutnya ?.

bukan hanya rasa iri dan dengki saja yang menjadi tolak ukur kedewasaan, tapi ada banyak hal lain yang menjadikan kamu dewasa, seperti mulai dari selalu menghargai setiap proses yang ada pada diri kalian dan orang lain, menghargai proses pembelajaran yang mungkin untuk sekarang nggak cuma didalam suatu kelas, tetapi lebih ke lingkungan. dan juga dewasa tentunya adalah bisa menjaga attitude dan lebih bijak saat berperilaku.

Kadang saya juga berfikir, kenapa hidup ini seakan sudah terstruktur. lahir – sekolah – kuliah – kerja – menikah, pink perempuan dan biru laki-laki. semua itu seakan-akan memang telah digariskan oleh masyarakat, btw saya bukan membela LGBT dan lainnya loh, cuma kalau warna kan itu bias masyarakat saja, toh kalaupun perempuan memakai biru ya sah-sah saja toh, itu hanya kesalahan konsep saja pas masih kecil anak-anak di ajarkan konsep bahwa ada warna-warna khusus yang “katanya” saru dipakai dengan gender tertentu.

Soal menikah pun, kenapa perempuan rentan usianya seolah-olah mereka lebih sedikit daripada laki-laki, yap. 25 tahun, seperempat abad. jika lebih dari itu dikatakanlah si perempuan malang tersebut sebagai perawan tua, yhaa….meskipun saya punya pemikiran berontak seperti ini, kadang saya juga terpengaruh dengan lingkungan, dan nggak jarang saya berkata

“eh, kok belum nikah-nikah sih” tanpa saya menyadari kalau saya juga belum menikah.

Segitu entengnya mulut sampai mengatai orang tanpa melihat diri sendiri, yang menadakan bahwa saya juga belum bisa bersikap bijak.

Tentang usia seperempat abad yang digaung-gaungkan menjadi usia keramat bagi perempuan, sampai menurut saya kok bisa-bisanya sekarang ada campaign “menikah muda” yang kadang disalah artikan kaum milenial seperti saya ini, dimana banyak banget usia usia muda ramai-ramai mendaftar ke KUA demi menghindari status seperempat abad-nya atau yang katanya “menghindari zina”, iyaa…..saya faham itu, tapi bukan berarti memaksakan diri bukan ?, karena pada kenyataannya, saat saya berdiskusi oleh salah seorang kerabat saya yang bekerja sebagai pencatat masalah perceraian di KUA, dia bilang kalau perceraian terbanyak terjadi di kalangan anak muda dan tragisnya lagi, dengan alasan yang sepele banget. Ada satu alasan yang membuat saya terpingkal-pingkal mendengarnya, yaitu gara-gara saat ulang tahun si istri, ternyata si suami sudah menjanjikan akan membelikan mie ayam kesukaannya, akan tetapi entah karena apa, si suami kelupaan untuk membelikan mie ayam tersebut, dan akhirnya si istri menggugat cerai.

can you guess, ketika hal semacam ini banyak terjadi di daerahmu ?. akhirnya saya berfikir, kenapa sih hanya untuk alasan “menghindari zina” harus dipaksakan menikah muda saat seharusnya kita belajar mendewasakan diri untuk mempersiapkan menikah itu sendiri, kenapa nggak dialihkan saja dengan meningkatkan pengembangan diri dengan prestasi atau yang lainnya, ya sambil mensosialisasikan pendidikan seksual, lha masalahnya di negara ini membahas pendidikan seksual itu masih di anggap tabu sih.

eh, sekali lagi, saya berpendapat begini bukan berarti saya feminisme atau anti nikah-nikah loh, saya hanya menyuarakan pendapat saya, karena kenapa ? saya kasihan saja dengan orang-orang yang belum menemukan pasangannya di usia lebih seperempat abad-nya. coba deh hargai mereka, terus belum lagi herannya saya, kenapa jika ada perempuan berpendidikan tinggi malah dianggap sebelah mata di pandangan masyarakat, katanya “ntar gak ada laki-laki yang mau lah, apalah dan bla bla bla”. ngomong-ngomong, klo si pelamar nggak mau alias minder, ya otomatis memang mereka nggak cocok buat kamu, ngapain juga mengharap orang yang minder, toh kalaupun pendidikannya lebih rendah daripada kamu bukan berarti dia tidak seiringan dengan kamu.

Menikah itu beriringan, menggenapkan apa yang kosong, tidak ada persaingan dan bekerjasama. Jadi kalau ada yang kurang di pasangan kita ya tinggal bagaimana kita menggenapinya, contoh saja, jika status pendidikan si perempuan lebih tinggi bukan berarti si laki-laki lebih bodoh kan ? akan ada keahlian lain yang mungkin dia lebih handal daripada si perempuan.

Terus ? kira-kira, sampai kapan kita merasa belum siap ?. saya rasa akan selamanya kita merasa nggak siap. lha terus nggak nikah-nikah ? kan saya bilang, menikah itu menggenapkan, jadi kalau kita sudah siap hal A, tapi nggak siap hal B, akan tetapi kita sudah menemukan pasangan yang sekiranya dia sudah siap dengan hal B, ya nikahin lah. Jadi jangan menikah karena pengen, tapi memang sudah butuh dan siap.

Tentang pekerjaan juga. entah kenapa seolah masyarakat yang menentukan, gara-gara ini juga saya pernah merasakan depresi ringan dan menyebabkan saya kurang percaya diri dan ketakutan saat saya berada di lingkungan umum. Tau kan rasanya dikotak-kotakkan ? ya seperti itu yang saya alami, kenapa kita seolah di paksakan berada di kotak yang berklasifikasi tinggi, padahal nggak semua orang punya kemampuan sama, jadi kalau memang si A pengennya sampai di tahap nomer 2 kenapa harus dipaksakan ke nomor 1 ?.

Begitu peliknya ketakutan-ketakutan yang tiba-tiba terjadi saat usia usia mengginjak angka 20, dan tragisnya perempuan hanya punya waktu sampai 25 tahun, dan selama itu, si otak akan dipenuhi berbagai pemikiran dan pertannyaan

“sudah baikkah hidupku ?”

“sebenarnya hidup itu untuk apa ?”

“kira-kira pekerjaanku sudah baik dan menghasilkan belum ?”

“kira-kira aku menikah usia berapa ?”

“bisa harmonis nggak ya kehidupanku setelah menikah ?”

“bisa beriringan nggak ya antara pekerjaan dan kehidupan sosialku ?”

dan masih banyak hal yang pasti si usia 20an ini pikirkan.

Ahh…..usia 20an usia manis diawal masa dewasa,

Berharap semua baik-baik saja tapi nyatanya hidup nggak selurus benang yang direntangkan, berharap dapat pekerjaan dengan gaji banyak tapi nyatanya si bos yang menyesakkan dada, berharap dapat pasangan yang sekufu’ tapi nyatanya nggak ada yang sempurna.

Mari kita lihat, siapa yang berhasil bercengkerama di atas veranda sambil melihat galaksi bimasakti dengan menyeduh 2 cangkir kopi sambil bertukar pikiran bersama saya yang memiliki otak se absurd ini, dan jangan lupa memakai sheetmask varian tea tree oil. ahahahayyyy

 

 

 

 

 

Penulis:

Calon S.Psi dan istri sholehah --------------------- kamu bisa membaca semua artikel yang saya buat, dan mari bersilaturahmi dengan melayangkan komentar kamu di post-post saya, enjoy !

2 tanggapan untuk “(Before) 25 life crysis

Tinggalkan komentar